Chat GPT : Merusak atau Membantu Pelajar?

 Dunia pendidikan di Indonesia bereaksi terhadap kecenderungan perilaku terhadap penggunaan Chat GPT. Kemunculan alat berbasis kecerdasan buatan milik OpenAI ini disinyalir memunculkan perilaku atau gaya baru dalam mengerjakan tugas, akan tetapi banyak juga yang menyalahgunaan Artificial Intelligence ini, seperti godaan melakukan plagiarisme. 

Chat GPT  mampu memahami konteks kalimat dan hubungan antar kalimat dengan baik, sehingga pekerjaan yang berbentuk teks seperti surat lamaran, outline artikel, menulis lagu dan lain sebagainya akan dimudahkan dengan kencanggihan Chat GPT. Hal ini tentu sangat membantu para pelajar dalam mengerjakan tugas sekolah dan kuliah seperti esai, makalah, artikel dan karya ilmiah lainnya. 

Dengan kemampuan yang dimiliki oleh Chat GPT tentunya membantu memudahkan pelajar-pelajar dalam penugasannnya. Namun di lain sisi,  Chat GPT ini seperti belati bermata dua. Pelajar-pelajar yang awalnya hanya ingin menggunakan Chat GPT hanya untuk mencari referensi, lama kelamaan akan mengalami ketergantungan yang menyebabkan menurunkan kemampuan problem solving dalam penugasannya dan lebih memilih melakukan plagiarisme yang mengandalkan Chat GPT. 

Hal ini tak luput dari pelajar di SMAN 1 Gedeg Kabupaten Mojokerto. Pelajar di sekolah mulai beralih ke Chat GPT, chatbot berbasis AI ( Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan ini untuk memangkas waktu pekerjaan rumah mereka.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di suatu kelas di SMAN 1 Gedeg ini menyatakan bahwa sekitar 25 dari 30 siswa merasa terbantu dengan adanya Chat GPT.  Jumlah ini tentunya terlihat sangat kontras. “ Saya sih tiap ada tugas selalu pake Chat GPT, soalnya kadang males kalo harus mikir keras.” Ujar Defa, salah satu responden dari survey tersebut pada 24 November lalu. Menurut Defa Chat GPT memang sangat membantu di tiap penugasan kelas yang ia dapat. 

Akan tetapi lain cerita dengan salah satu responden lain yang telah diwawancarai “Chat GPT emang bantu bgt kak. Tapi adanya Chat GPT harusnya ga sampe membuat kita jadi plagiarisme.” Ujar Alaiya, yang juga merupakan respondem survey. Menurut Alaiya, Kehadiran Chat GPT ini harusnya digunakan dengan baik, bukannya malah menjadi tempat untuk melakukan Plagiarisme.

Memang Chat GPT sedang menjadi buah bibir di banyak kalangan, khususnya di institusi pendidikan. Dikhawatirkan Chat GPT bukannya menjadi alat yang membantu dan malah menjadi hal yang merusak pola pikir pelajar.“Saya tidak masalah jika memang membutuhkan Chat GPT untuk mencari referensi saja, tapi jika sudah sampai plagiarisme dengan hanya copas (copy paste) saja, saya menentang.” Ujar Nuza, salah satu tenaga pendidik di sekolah tersebut.


Kehadiran AI ini memang menjadi polemik yang tak habis-habis dibicarakan. Melihat bagaimana sempurnanya kecerdasan buatan ini tak heran apabila ChatGPT pun menjadi kecerdasan buatan yang sangat populer saat ini di dunia, khususnya di kalangan institusi pendidikan.

Bahkan dalam dua bulan pertama peluncurannya, ChatGPT mampu meraih 100 juta pengguna, termasuk kalangan mahasiswa. Sebuah survei di Stanford University, Amerika Serikat menunjukkan sebanyak 17 persen mahasiswa menggunakan teknologi tersebut untuk ujian akhir.
Dari 17% tersebut, hampir 60% menggunakan AI untuk brainstorming, outlining, dan mencari ide. Kemudian sekitar 30% untuk menjawab soal pilihan ganda. Ada juga yang menggunakan hasil dari ChatGPT dengan sejumlah pengeditan. Hanya 5% yang menggunakan tulisan dari ChatGPT tanpa mengubah atau hanya sedikit mengubah hasilnya.



https://news.stanford.edu/2023/02/13/will-chatgpt-change-way-think-work/


Zhafirah Dwi H. S.

Comments